Suatu hari istri dari KH. Rahmat Abdullah (almarhum) mengeluh tentang persediaan uang untuk kebutuhan rumah tangga yang tinggal sedikit.
Ust. Rahmat pun menjawabnya dengan tenang “Santai aja ibu.. Duit kalo tinggal sedikit artinya mau datang lagi.”
Subhanallah! Ungkapan yang sangat singkat, namun padat. Begitulah kelebihan yang Allah berikan kepada para ulama, sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair “خير الكلام ما قل ودل” yang artinya “sebaik-baik perkataan adalah yang sedikit dan argumentatif.”
Ungkapan ust. Rahmat mengajarkan kita bahwa uang itu mengisi tempat yang kosong, karenanya jika Allah ingin kembali mengisi dompet kita, kosongkanlah sebagian nya untuk membantu sesama.
Uang itu bagaikan air yang didalam gelas, jika belum kita minum, maka air didalam botol tak akan bisa mengisinya. Uang itu bagaikan air jika ditahan dia kotor, adapun jika kita melepasnya maka ia akan bersih.
Uang itu bagaikan air jika ia ditahan, maka ia akan mencari jalan keluarnya sendiri, karenanya Nabi saw berujar “ما حالطت الصدقة مالا إلا أفسدته” (Tidaklah sedekah bercampur dengan harta, melainkan ia akan merusak harta tersebut).
Ia akan mencari jalan keluarnya sendiri melalui:
- anak kita yang sakit sehingga harus ke dokter
- handphone kita yang hilang
- mobil kita yang rusak
- dan lain lain yang menguras harta kita.
Uang itu seperti udara, ia selalu mengisi ruang yang kosong. Karenanya, berbagi dan kosongkanlah, biarlah Allah dengan caranya mengisi kehampaan itu.
Filosifi Uang Kertas
Konon, Bank Indonesia sebagai yang punya otoritas penerbitan pecahan mata uang rupiah, sudah menanamkan satu filosofi dan maksud tertentu dari pengalokasian pecahan uang berdasarkan gambar dari uang tersebut (terutama pada uang kertas). Harapannya, para pengguna uang itu sesuai dengan filosofi dan maksud yang sudah ditanamkan lebih dulu.
Coba kita saksikan gambar uang kertas di atas. Ada pecahan uang kertas Rp. 1.000,- , Rp. 5.000,- , Rp. 10.000,- , Rp. 20.000,- , Rp. 50.000,- dan pecahan Rp. 100.000,-. Dalam gambar di atas, pecahan uang kertas Rp. 2.000,- kebetulan belum dimasukkan.
Kalau disaksikan pada gambar masing-masing uang tersebut, terlihat gambar para pahlawan yang sudah berjasa untuk bangsa ini. Akan tetapi, pose mereka inilah yang mengandung filosofi yang berbeda-beda bila dikaitkan dengan nilai nominal uangnya. Mari kita lihat pada pecahan terkecil yaitu Rp. 1.000,- dan pecahan terbesar yaitu Rp. 100.000,- dan boleh juga Rp. 50.000,-.
uang 1000000 jadi 1000 rupiah
Mari lihat uang pecahan Rp. 1.000,- berikut. Pecahan ini bergambar pahlawan kebangaan Masyarakat Maluku yaitu Kapitan Pattimura dengan pose menenteng sebilah senjata GOLOK.
Nah sekarang, mari lihat uang pecahan Rp. 100.000,- dan Rp. 50.000,- berikut.
Pecahan ini bergambar pahlawan kebangaan Masyarakat Bali yaitu I Gusti Ngurah Rai (pecahan Rp. 50.000,-) dan Duet Founding Fathers Republik Indonesia yaitu Soekarno dan Moehammad Hatta (pecahan Rp. 100.000,-) dengan pose mengenakan PECI.
Kenapa uang pecahan Rp. 1.000,- bergambar Pattimura menenteng GOLOK ?
Ini dimaksudkan bahwa uang pecahan Rp. 1.000,- ini memang pantasnya dibawa/diperuntukkan ketika kita sedang membawa alat kerja/senjata. Diamanakah biasanya orang bawa alat kerja ? Ya bisa ditempat kerja kita atau ke pasar. Sehingga ini dimaksudkan, supaya ketika kita bekerja atau belanja ke pasar, kita tidak boros menghamburkan uang. Karena yang dibawa pecahan Rp. 1.000,-. Maka jadilah masyarakat Indonesia pecinta uang ini bijak dalam pembelanjaan uangnya, tidak boros menghambur-hamburkan rupiah.
Lantas, bagaimana dengan pecahan Rp. 50.000,- atau Rp. 100.000,- ? Kenapa memakai PECI ?
Kemanakah biasanya orang-orang pergi dengan memakai PECI ?
Tentu kita semua paham bahwa orang pergi pakai PECI itu biasanya ke tempat Ibadah (Masjid, Musholla dan tempat ibadah lain) dengan performa keIndonesiaan, atau ke tempat-tempat kegiatan sosial dan forum formal lainnya. Apa maksud dari semua ini ?
Maksudnya, uang tersebut (pecahan Rp. 50.000,- atau Rp. 100.000,-) sepantasnyalah kita bawa ke tempat-tempat ibadah dan kegiatan sosial. Keluarkanlah itu untuk kita belanjakan di tempat Ibadah dan kegiatan sosial sebagai amal jariyah.
Masalahnya kan, sekarang karena tidak memahami filosofinya, maka kebanyakan kita salah dalam memaknai uang tersebut. Jadilah ekspresinya terbalik-balik.
Ketika kita ke tempat Ibadah dan kegiatan sosial, yang kita bawa adalah pahlawan Pattimura dengan Goloknya. Pantaslah kalau kemudian di tempat ibadahpun kita pada suka berselisih dan berantem dengan jamaah ibadah yang lain. Koq bisa begitu ? Ya karena golok yang kita bawa. Bahkan kadang kita suka mengganggu kekhusyukan ibadah jamaah lain karena bunyi GLONDANG yg keras dr uang recehan logam yang kita masukkan ke dalam kotak amal. Sudah sedikit, bikin kaget orang lain lagiii.
Dan ketika kita ke tempat perbelanjaan, justru yang kita bawa biasanya I Gusti Ngurah Rai atau Duet Bung Karno dan Bung Hatta. Jadilah kita manusia pemboros dan tidak bisa mengerem nafsu belanja kita.
Nah … seandainya kita memahami dengan baik filosofi dari uang tersebut dan mengaplikasikannya pada tempat yang tepat, tentu kita semua akan menjadi manusia-manusia yang lebih makmur dan berkah.
Karena, tidak ada ceritanya orang yang bangkrut gara-gara selalu mengajak I Gusti Ngurah Rai atau Duet Bung Karno dan Bung Hatta ke tempat-tempat ibadah. Karena Allah berjanji akan melipatgandakannya bagi siapa yang ikhlas. Berlipat ganda menjadi 10 kali, 100 kali, 700 kali bahkan beribu-ribu kali. Terserah Allah mau melipatgandakannya jadi berapa kali.
Dan tidak ada ceritanya orang yang tambah makmur ketika I Gusti Ngurah Rai atau Duet Bung Karno dan Bung Hatta itulah yang selalu dibawa ke pasar, mall dan pusat perbelanjaan yang lain. Justru kebangkrutanlah yang selalu mengintai.
والله أعلم بالصواب
Filosofi Uang: Kalau Uang Kita Sisa Sedikit, Artinya ...