Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu berteriak, “Ya Allah, Kau salah rancang dan keliru cetak!”
Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati, sedangkan semua yang ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang kemana-mana. Andai dia berpikir sebagai manusia, betapa nelangsanya. “Ya Allah,” mungkin begitu dia mengadu, “Bagaimana hamba dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang diatas, cepat melintas, dan kemanapun bebas.” Betapa sedih dan sesak menjadi seekor cicak.
“Barang siapa memperbagus hal-hal tersembunyinya, niscaya Allah jelitakan apa yang tampak dari dirinya. Barang siapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, niscaya Allah baikkan hubungannya dengan sesama. Barang siapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Allah yang akan mencukupinya dalam perkara dunia.” (‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz).
Namun, mari ingat sejenak bhwa ketika kecil dulu, orangtua dan guru-guru mengajak kita mendendang lagu tentang hakikat rizqi. Lagu itu berjudul, ‘Cicak cicak di dinding’.
Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rizqi, Allah-lah yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak yang harus datang menerjang, bukan cicak yang hrus mencari dengan garang, bukan cicak yang hrus mengejar dengan terbang.
“Datang seekor nyamuk.”
Allah Yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaan-Nya. Allah Yang Maha Kaya, atas-Nya tanggungan hidup utk semua yang telah dijadikan-Nya. Allah Yang Maha Memberi rizqi, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaan-Nya sama sekali. Allah Yang Maha Adil, takkan mungkin Dia bebani hamba-Nya melampaui kesanggupannya. Allah Yang Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi mahluk-Nya amatlah mudah.
“Datang seekor nyamuk.”
Allah yang mendatangkan rizqi itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam2 merayap, perjalanan nyamuk utk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Allah dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si nyamuk terbang kemana jua, tapi Allah bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdir dengan bahagia, menjadi rizqi bagi sesama mahluk-Nya, sesudah juga menikmati rizqi selama waktu yang ditentukan oleh-Nya.
“Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Allah-lah rizqinya. Dia Maha Mengetahui tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata.” (QS. Huud [11]: 6)
‘Daabbah,’ demikian menurut sebagian mufassir, “Adalah kata utk mewakili binatang2 yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara bergeraknya, kotor keadaanya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dpt ditimbulkan.” Allah menyebut ‘Daabbah’ diayat ini, seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor, liar, dan berbahaya saja Dia jamin rizqinya, apalah lagi manusia.
Salim A. Fillah dalam buku Lapis-lapis Keberkahan.
Cicak di Dinding dan Keyakinan Utuh
No comments:
Post a Comment