Sikap para Founding Fathers pada kolonialisme begitu tegas, mereka tak memberi jalan kompromi, meskipun mereka kadang berdialog, namun mereka menyiapkan berbagai strategi, agar kolonialisme hengkang, setidaknya pergi dari tanah air. Mereka datang “tersesat”, lalu berubah menjadi monster, menumpahkan darah di atas tanah subur, tanah air indonesia.
Kolonialisme tak pernah punya tempat di ruang manapun, ia memuja kekerasan, menghendaki perbudakan, menindas tanpa belas kasihan, membunuh tanpa rasa bersalah. Kolonialisme dimanapun, adalah satu perguruan dengan fasisme, sepupu sekali dengan nazisme, dan mungkin saudara kembar dengan kanibalisme.
Jika pada kanibalisme manusia yang satu memakan bangkai dan daging saudaranya secara fisik, dalam kolonialisme, daging dan psikis dihancurkan sedemikian rupa, sehingga manusia tak lagi menjadi “manusia”, ia menjadi robot bernyawa yang dikendalikan di bawah pantat bedil, di atas injakan sepatu laras, dibawah tekanan moncong senjata tua dan dikomandoi oleh manusia yang berhati batu, tak punya rasa, kehilangan belas kasihan, tak pandai berempati. Manusia seperti ini bagaikan binatang buas yang tak punya asal usul. Pada binatang buas, mereka saling mendebinatangisasi. Misalnya harimau memakan kancil di hutan rimba, maka tindakan harimau itu adalah perilaku mendebinatangisasi binatang lain guna bertahan hidup, meski harimau tak pernah berpikir, bahwa memakan kancil dapat mengurangi habitat binatang ini.
Tindakan yang sama pada manusia disebut dehumamisasi, suatu sikap dan tindakan yang meletakkan manusia bukan sebagai subyek, tapi sebagai obyek. Obyek yang diperintah tanpa punya hak menolak perintah, obyek yang dipukul tanpa punya kekuatan melawan, obyek yang diperbudak tanpa punya hak apa-apa, kecuali sederetan kewajiban. Hak masyarakat kolonial dicabut, sementara deretan kewajiban ditambah, diurut sepanjang kehidupan mereka, sehingga tak tersisa sedikitpun hak, termasuk nyawa yang melekat di badan mereka, adalah hak si penjajah. Si terjajah adalah sederetan patung-patung yang hidup, berjejal, berjalan, mengangguk, tunduk, jongkok, merangkak dan terbaring di bawah bentakan, makian dan suara-suara dari leher tanpa sensor yang memekakkan telinga dan menyebalkan disepanjang perjalanan waktu.
Manusia hidup dalam ketakutan. Suara ang berbeda dari masyarakat setempat dianggap seperti suara dari neraka, menakutkan bagi kekuasaan kolonial. Maka ketika anak-anak muda indonesia hasil didikan eropa di akhir abad 19 dan awal abad 20, kekuasaan dan dominasi kolonialisme mulai mendapatkan rival, meskipun tak imbang.
Anak-anak ini membangun kesadaran nasionalisme dan menghimpun kekuatan politik. Genealogi perlawanan mereka mulai berbaris, meskipun barisan yang mereka tata masih gampang terkoyak, bahkan tak terhindarkan, kadang masih terpecah. Tapi mereka memiliki tujuan yang sama, common sense, bahwa musuh mereka adalah kolonialisme yang mengggores luka, mengiris daging, dan mencemari air sungai dengan darah manusia.
Karena si penjajah tidak suka dengan suara yang berbeda, anak-anak muda indonesia yang menggerakkan api revolusi dikejar, disidang dan dibuang. Soekarno adalah salah satu yang mengalami pembuangan, Hatta pernah di sidang di Den Haag Belanda, sarang nya si penjajah, dan Tan Malaka, yang selama hidupnya dikejar dan bersembunyi dengan mengganti beragam nama.
Pledoi bung Hatta di sidang 9 Maret 1928 yang berjudul “indonesia merdeka” itu, menunjukan suara baru dan suara yang berbeda. Hatta mengatakan bahwa “belanda egois, picik, borjuis kecil, serba curiga, dan tidak mampu berbuat yang baik dan hebat”. Kata-katanya tajam bagai pedang, seperti anak panah yang meluncur dari sarang nya dan menembus jantung si penjajah.
Pidato Hatta di sarang si penjajah adalah sesuatu yang different, ini semacam “the other” sebagaimana yang dikatakan oleh Edward Said dalam Orientalisme. Ia benar-benar menusuk tepat dijantung penjajah. Hatta dituduh oleh Belanda sebagai penghasut untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah belanda. Salah satu tuduhan untuk menghentikan altar kebebasan dan “menyeret” suara yang berbeda dari kehendak kekuasaan kolonialisme.
Negara ini dibangun melalui sederetan perlawanan dan penderitaan, pengejaran, penangkapan dan pembuangan. Bagi mereka yang bersuara nyaring menentang kekuasan kolonial, tak ada tempat nyaman buat mereka.
Kini penahanan dan penangkapan atas suara yang berbeda itu terjadi, justru setelah kita merdeka, saat kita mendendangkan demokrasi dan kebebasan. Kritik dan demoktrasi terhadap kekuasaan pelan-pelan mulai diawasi dan disensor.
Adakah kini kita sedang mengalami pengulangan sejarah kolonialisme?. Adalah kini kita sedang mengulangi masa lalu suram yang menyusun jarak antara si penjajah dan si terjajah?. Boleh kah distingsi itu terjadi di saat kita memuja demokrasi sebagai berhala?. Jika iya, maka aparatus negara demokrasi sama dengan aparatus negara kolonial. Anti kritik.
Makassar, 1 April 2017
Fajlurrahman Jurdi
Demokrasi Kolonial
No comments:
Post a Comment